Pembatasan Kritik Kepada Presiden
Mencederai demokrasi
akibat pembatasan menyampaikan aspirasi berupa kritik kepada Presiden.
(Demonstrasi
Mahasiswa Menolak RUU KUHP dan UU KPK di Depan Gedung DPR/MPR RI (foto.luthfi)
via https://www.hipwee.com)
Walaupun RI-1 telah meminta DPR untuk menunda
pengesahan RUU KUHP, tetap saja demonstrasi terutama dari kalangan mahasiswa
tidak dapat terelakkan. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membahas lebih lanjut
revisi Undang-Undang (UU) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) memantik
protes keras dari berbagai elemen masyarakat. Meskipun parlemen sudah
memutuskan untuk menunda pengesahan payung hukum tersebut,
aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia tetap
tidak dapat dihindarkan. ..
Mereka turun ke jalan, karena menganggap
bahwa ada sejumlah perubahan dalam pasal RUU KUHP yang dianggap cukup
kontradiktif dengan situasi yang terjadi. Demonstrasi terjadi akibat keberadaan
pasal yang dinilai kontroversial dalam RUU tersebut. Banyak yang
kusut dalam revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang ramai dibincangkan beberapa hari ini.
Satu di antara yang menjadi sorotan aktivis hukum yakni pasal penghinaan
terhadap presiden.
Pemerintah tiba-tiba mengusulkan untuk
memasukkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Langkah ini tentu tidak
seharusnya dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK) karena bisa mematikan demokrasi yang telah terbangun baik selama
ini. Keputusan pemerintah tersebut harus dikaji kembali demi kemaslahatan dan
kebaikan semua warga bangsa. Jangan sampai masyarakat berpikiran bahwa rencana
menghidupkan lagi pasal penghinaan presiden tersebut merupakan kepanikan
Presiden Jokowi yang terus menuai kritik
3
Pasal Penghinaan
(Sumber: international.sindonews.com)
|
Diketahui, pasal-pasal terkait penghinaan presiden/wakil
presiden ini tertuang dalam Pasal 218-220 RKUHP. Pasal itu berbunyi:
Pasal
218
(1) Setiap orang yang di muka umum
menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan
atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan
dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal
219
Setiap orang yang menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh
umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau
menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan
kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden
dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (bulan) atau pidana denda paling
banyak Kategori IV.
Pasal
220
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Diketahui, DPR dan
pemerintah sudah menyepakati pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) pada Rabu (18/9/2019). Hasil kesepakatan itu rencananya akan dibawa ke
pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna. (sumber : www.liputan6.com)
Langkah pemerintah menghidupkan kembali pasal pelarangan
penghinaan itu hanya akan merusak reputasi pemerintah Jokowi dan, lebih jauh
lagi, membahayakan demokrasi Indonesia dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sekadar
untuk menyegarkan ingatan, pasal pelarangan itu semula ada dalam KUHP yang
merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kehadiran pasal itu digunakan
baik di masa pemerintah Soekarno dan Soeharto untuk menakut-nakuti mereka yang
berani melawan pemerintahan yang sedang berkuasa. Pasal itu dicabut oleh
Mahkamah Konstitusi pada 2006 dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945. Kini
dalam usulan RUU KUHP, pemerintah kembali berusaha menghidupkan pasal
pelarangan penghinaan terhadap Presiden dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.
Dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, Mahkamah
Konstitusi menyatakan pasal penghinaan presiden sudah tidak relevan pada
sistem demokrasi saat ini. Karena itu, peneliti Institute of Criminal
Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati heran mengapa perumus revisi KUHP malah
memasukkan pasal serupa meski bersifat delik aduan.”Tidak boleh ada pasal
penghinaan presiden atau pasal yang mirip dengan itu di reformasi hukum
Indonesia. Itu membangkang dari konstitusi” kata Maidina di Jakarta,
Jumat (20/9). Secara filosofis, dia melanjutkan, Mahkamah menyatakan
seorang kepala negara yakni presiden atau wakil presiden kedudukannya setara
dengan masyarakat. (sumber : www.msn.com)
Pasal penghinaan terhadap Presiden diperkirakan akan hidup kembali lewat
Rancangan Kitab Hukum Acara Pidaha (RKUHP) yang segera disahkan DPR. Padahal,
sebelumnya pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan menanggapi terkait pro
kontra dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden tersebut. "Dalam
RKUHP, pasal penghinaan Presiden dan wakil presiden masuk delik aduan yang
dikuasakan oleh presiden dan wakil presiden," kata Masinton kepada
Republika, Selasa (3/9). Hal tersebut, menurutnya berbeda dengan KUHP lama yang
pasal penghinaan Presiden sebelumnya masuk ke dalam delik umum. Selain
Masinton, hal serupa juga disampaikan anggota komisi III lainnya dari Fraksi
Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi.
"Itu
sudah berbeda sama sekali," kata Taufiqulhadi. Taufiqulhadi menambahkan,
yang dibatalkan MK adalah delik umum. Namun, sekarang aturan yang diatur dalam
pasal penghinaan Presiden sudah diubah menjadi delik aduan mutlak. Draf
terakhir RKUHP memang tetap mempertahankan pasal penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden. Namun, penghinaan Presiden dan Wakil Presiden berupa delik aduan yang
dilakukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sendiri diatur dalam Pasal 218
dan 219. Pasal 218 ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang di muka umum
menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Kategori IV."
Sedangkan, Pasal 218 ayat dua berbunyi, "Suatu perbuatan tidak
merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) jika
perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Pasal 219, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau
memperdengarkan rekaman, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan
martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui
atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat
tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Keharusan
delik aduan dalam pidana penghinaan presiden disyaratkan dalam Pasal 220. Ayat
satu pasal tersebut berbunyi, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
"Pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau
Wakil Presiden," demikian bunyi ayat dua Pasal 220.
Pakar hukum
pidana dari Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji berpendapat,
munculnya rumusan pasal penghinaan pada RKUHP tidak perlu dikhawatirkan. Sebab,
delik tersebut menghindari politisasi hukum.
"Format
pasal penghinaan tersebut sangat moderat dan masih dalam batasan dan dinamika
prinsip hukum pidana," kata Indriyanto dalam keterangan tertulisnya, di
Jakarta, Sabtu (31/8).
Bahkan, pada
negara-negara dengan sistem demokrasi yang liberal, baik sistem hukum pidana
bercorak hukum adat (common law) maupun perdata (civil law), selalu dicantumkan
'Guarding Law for Protection of State' (menjaga hukum untuk melindungi negara).
Ia mengatakan, hukum itu adalah ketentuan tentang perlindungan terhadap
simbol-simbol kenegaraan, termasuk kepala negara.
"Hanya,
yang berbeda adalah tentang tata pola penempatan, yakni pada bab keamanan
negara (security of state) atau pada bab ketertiban umum (public order),"
kata wakil ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) itu.
Menurut
Indriyanto, pemerintah sudah menjalankan amanat putusan MK. Caranya, yaitu
memperbaiki redaksional delik sehingga jauh dari makna haatzaai artikelen
(pasal penabur kebencian) yang sifatnya tidak demokratis.
Secara hukum
pidana, kata Indriyanto, tim RKUHP sudah benar merumuskan delik dengan tidak
mencantumkan unsur ridicule (cemooh), hatred (kebencian), dan contempt
(penghinaan), yang bersifat tidak demokratis. Sehingga, pernyataan-pernyataan
yang dilakukan dengan cara keras tetapi objektif, zakelijk dan konstruktif tidak
dijadikan dasar pemidanaan.
“Karena itu,
rumusan tim terhadap ketentuan menyerang kehormatan, martabat, dan harkat
Presiden tetap berbasis delik yang demokratis dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip perlindungan HAM. Bahkan, dirumuskan pula sebagai delik aduan,
sehingga bisa terhindar dari politisasi hukum," ujarnya.
Dengan
demikian, ujar Indriyanto, rumusan pasal oleh tim RKUHP sudah tepat dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. "Sehingga, rumusan
pasal itu tetap menjaga hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat secara
bebas, walaupun dipahami juga bahwa tidak ada suatu legitimasi adanya kebebasan
absolut secara universal," ucapnya.
(sumber : theworldnews.net)
Wakil Ketua Komisi III Erma Suryani Ranik mengatakan,
Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta secara khusus salah satu pasal dalam
RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk dihapus. Erma menyebut pasal
itu tentang penghinaan presiden. Hal tersebut, menurut dia, disampaikan Jokowi
dalam pertemuan dengan pimpinan DPR, pimpinan fraksi, dan Komisi III di Istana
Merdeka, Senin (23/9/2019) kemarin. Erma mengatakan, Jokowi merasa tidak perlu
ada pasal penghinaan presiden. "Di
rapat itu, Pak Presiden Jokowi secara khusus menyebut pasal penghinaan terhadap
presiden, Beliau mengatakan bahwa saya sendiri tidak merasa perlu ada pasal
itu," ujar Erma di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa
(24/9/2019).
(sumber : www.liputan6.com)
Penghinaan tentu harus dibedakan dengan
Fitnah. Penghinaan adalah opini yang merendahkan seseorang; sementara fitnah
atau pencemaran nama baik merujuk pada tuduhan atau pengungkapan fakta yang
tidak benar yang merusak reputasi atau nama baik seseorang. Dalam negara seperti Indonesia, penghinaan terhadap
Presiden sebaiknya tidak mendapat ancaman pidana karena sejumlah hal.
Pertama, demokrasi membutuhkan warga masyarakat yang
bersedia berbicara terbuka di hadapan para pemimpinnya. Tradisi ini harus terus
dikembangkan. Dalam tradisi ini, memang bisa saja orang mengekspresikan
kemarahan atau ketidaksukaannya dengan cara yang ekstrem. Tapi itu harus
dipahami sebagai bagian (atau ekses) sah dari tradisi kebebasan berekspresi.
Bila kini, para warga masyarakat ini ditakut-takuti untuk bicara, mereka akan kehilangan
keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Bila ini terjadi, yang rugi adalah
bangsa Indonesia.
Kedua, istilah ‘penghinaan’ itu adalah istilah yang dapat
ditafsirkan sangat luas. Sebagai contoh, pernyataan ‘Presiden Jokowi adalah
presiden terburuk dalam sejarah Indonesia’ atau ‘Jokowi sebaiknya mengurus
keluarga saja, daripada mengurus negara’ bisa dengan mudah dinyatakan sebagai
‘penghinaan’.
Ketiga, bila pemerintah diberi otoritas untuk mengatur
bentuk ekspresi kritis masyarakat , ini bisa dimanfaatkan mereka yang berkuasa
untuk memberangus setiap bentuk sikap kritis masyarakat. Indonesia pernah punya
pengalaman panjang seperti ini di masa Orde Lama dan Orde Baru. Dengan segenap
alasan yang seolah nampak luhur, pemerintah membungkam sikap kritis masyarakat.
Pemerintah manapun selalu punya kecenderungan atau potensi untuk memberangus
suara oposisi. Karena itu masyarakat jangan pernah memberi peluang bagi
pemerintah untuk memilki kekuasaan untuk mengatur lalu lalang opini dan
ekspresi masyarakat tentang pemerintah. Yang dilarang adalah penyiaran
kebohongan dan fitnah. Titik.
Keempat, dengan merujuk pada pengalaman Indonesia paca
otoritarianisme, ada cukup bukti bahwa hukum berpotensi dimanipulasi. Misalnya,
pasal ‘pencemaran nama baik’ yang termuat dalam UU Informasi Transaksi dan
Eelektronik digunakan untuk memberangus hak warga untuk bicara secara kritis.
Kasus Prita Mulyasari yang sempat masuk penjara karena mengeritik perlakuan
terhadapnya oleh sebuah Rumah Sakit Swasta adalah bukti kuat bagaimana sebuah
pasal hukum yang semula nampak wajar dapat dimanipulasi dengan cara sedemikian
rupa oleh mereka yang memiliki kekuasaan (dalam hal ini, kekuasaan ekonomi)
untuk menindas rakyat. Hukum di Indonesia dapat dengan mudah dimanfaatkan dan
dibelokkan oleh mereka yang berkuasa untuk kepentingan mereka. cara terbaik
untuk mencegah kejahatan kekuasaan ini adalah dengan tidak membiarkan hadirnya
pasal-pasal yang dapat dimanipulasi oleh penguasa. Bila pasal’pencemaran nama
baik’ saja bisa dimanipulasi, apalagi pasal ‘penghinaan Presiden’ yang
penafsirannya bisa lebih melebar.
Kelima, seorang Presiden dalam masyarakat demokratis
seharusnya memang tidak berkuping tipis berhadapan dengan warga masyarakat yang
bersuara pedas. Dalam demokrasi, Presiden bukanlah raja, bukan titisan dewa,
bukan manusia suci. Presiden adalah warga yang dipilih secara kolektif untuk
memimpin bangsa. Warga masyarakat pada dasarnya berdiri sejajar dengan
Presiden. Karena itu penghinaan terhadap Presiden sebaiknya dipandang sebagai
hal biasa-biasa saja. Indonesia sudah berhasil membangun tradisi demokrasi yang
sehat selama 15 tahun terakhir. Bila ini kembali diubah, pemerintah dan DPR ,
Indonesia kembali mundur ke dunia gelap di masa lalu.
(sumber
: www.dw.com)
Oleh karena itu saya berharap pemerintah dapat mengkaji
ulang terhadap pasal-pasal mengenai penghinan presiden dan baiknya pasal pelarangan penghinaan terhadap
presiden dibiarkan tetap berada dalam peti yang terkunci. Karena penghinaan
tidak akan merusak reputasi atau nama baik seorang Presiden Penghinaan mungkin
tidak menyenangkan bagi mereka yang dihina, namun itu tak akan merusak reputasi
atau nama baik mereka yang dihina. Ini berbeda dengan fitnah yang bisa
menghancurkan hidup seseorang. warga masyarakat pada dasarnya tidak pasif dan
tidak bodoh. Bila presidennya dihina sementara sang presiden bekerja secara
benar, mereka justru akan menganggap yang menghina sebagai kalangan yang bodoh,
sakit hati, pcundang pecundang, pengecut atau sekadar meracau.
penghinaan
pada Presiden pada dasarnya adalah semacam bentuk kontrol sosial yang akan
membuat pemimpin bersikap hati-hati dan dipaksa untuk memberikan yang terbaik
bagi rakyat. Dengan kesadaran bahwa langkah-langkahnya akan terus diawasi
masyarakat dan berpotensi untuk di’bully’, seorang pemimpin akan selalu
mempertimbangkan apa dampak yang akan ditimbulkan oleh lengkah-langkahnya.
melawan suara kritis, keras, tajam, menyakitkan dari warga masyarakat dengan
ancaman hukuman pidana terkesan kekanak-kanakan. Pemerintah jadinya nampak
penakut dengan menggunakan tameng hukum untuk melawan warganya. penghidupan
kembali pasal pelarangan penghinaan terhadap Presiden hanya merusak reputasi
Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan dengan dukungan mereka yang sangat percaya
bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Penghidupan kembali
pasal tersebut akan merupakan warisan terburuk pemerintahan Jokowi yang
ironisnya justru naik karena demokrasi. Dan sebaiknya Pemerintah dan DPR dapat
bersikap bijak dan ingat pada akhirnya yang harus selalu menempati prioritas
utama adalah kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan itu hanya akan bisa dicapai
bila Indonesia memiliki pemerintahan yang bersih, korup dan bisa dikontrol oleh
masyarakat.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas dasar-dasar penulisan
Nama
: Mustika adelia
Kelas
: 1B (Penerbitan)
NIM : 19030090
Dosen
Pembimbing : Nurul Akmalia, S.I Kom, M.Med.Kom
Komentar
Posting Komentar